Posted by : Banana Harajuku
Rabu, 23 Maret 2011
Revisiting ‘My’ NLP
Posted By training consultant On 18 Feb 2010. Under Artikel Tags: NLP, Praktisi
Seiring dengan proses editing naskah saya, saya pun melakukan peninjauan kembali naskah tersebut dari awal hingga akhir. Sebuah proses yang melelahkan, namun sekaligus mencerahkan.
Kok mencerahkan?
Ya, karena rupanya saya jadi berkesempatan untuk meninjau kembali berbagai pemahaman yang sejauh ini telah begitu mapan saya tanam dalam diri saya tentang NLP. Uniknya, saya menemukan buanyak pemahaman baru, yang belum pernah terpikir sebelumnya. Serangkaian simpul-simpul baru pun terjalin menyusun bangunan pemahaman yang semakin luas.
Apa saja sih?
Pertama, ya tentang NLP itu sendiri. Sampai beberapa waktu lalu saya masih membutuhkan waktu beberapa menit untuk menjawab pertanyaan sederhana, “Apa sih NLP itu?” atau “NLP? Apaan tuh?” Ya, sebab saya mesti memilih dulu definisi yang kiranya paling tepat untuk memahamkan sang penanya sekali tembak dan tidak berbelit-belit.
Bagaimana sekarang?
Jawaban saya sederhana. NLP itu adalah ilmu untuk menikmati hidup. Ya,
makanya ini pun saya jadikan judul dari buku saya, kalau tidak diganti oleh penerbitnya. Hehehe…maklum, urusan judul bukan hanya urusan selera, melainkan urusan pemasaran.
Eh, kok jadi kemana-mana. Balik lagi. Bagaimana ceritanya tuh, NLP bisa jadi ilmu untuk menikmati hidup? Ya sederhana juga. Keunikan NLP hemat saya terletak pada presuposisi yang paling populer: the map is not the terriory. Inilah emak alias ibu dari beragam rupa model dan teknik yang ada di dalam NLP. Karena peta bukan wilayah, maka apapun makanannya, minumnya teh botol sosro.
Loh, kok jadi ngiklan? Memangnya di-endorse?
Bukan. Tapi ini memang serius. Iklan teh botol tersebut memang contoh yang amat pas untuk memberikan penjelasan bahwa peta memang benar-benar bukan merupakan wilayah. Enaknya, manusia berpikir-merasa-bertindak berdasarkan petanya. Maka seperti apapun realitanya, manusia punya kebebasan memilih respon yang diinginkan. Aha, kebebasan memilih! Inilah konon yang merupakan penyebab manusia itu disebut manusia. Ya karena punya kebebasan memilih respon itu.
Sisi lain, ketika muncul sebuah permasalahan, maka ya tinggal ditinjau kembali petanya. Karena pasti sang peta inilah titik simpulnya. Bisa jadi ia terlalu sempit, sudah kuno, atau salah daerah. La wong mau jalan-jalan di Bandung kok pakai peta Jogja.
Nah, kalau sudah begini, ya gimana nggak menikmati hidup? Sebab segala kejadian (baca: realita) menjadi sebuah entitas yang terpisah dengan makna. Kejadian boleh saja dianggap orang sebagai dramatis, menyedihkan, menyakitkan, dst. Tapi kalau kita memilih dengan sengaja untuk menggunakan peta hikmah, maka segalanya menjadi nikmat yang patut disyukuri. Maka dari itu saya pun jadi paham sebuah ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan itu tergantung prasangka hamba-Nya. Mau dibilang Dia tidak adil, ya itulah yang akan dirasakan. Mau dikatakan Dia Maha Pengasih, ya ini pula lah yang akan kita rasakan. Yang pasti, semuanya memiliki konsekuensi. Ya, mengapa tidak kita pilih yang konsekuensinya paling memberdayakan buat kita?
Maka presuposisi terkenal ini pun lebih suka saya sebut dengan: the map IS the territory. Seperti apa peta yang kita pakai, itulah realita yang kita pahami.
Kedua, soal Meta Model dan saudara kembarnya, Milton Model. Untuk Meta Model, saya sudah sempat bahas di sebuah artikel berjudul “Ketika Meta Model Menjadi Alat Untuk Berempati”. Ya, Meta Model, alias komunikasi presisi, sama sekali bukan alat ngeyel. Meta Model adalah alat agar penggunanya dapat sedekat mungkin dengan realita. Tidak akan sama persis, tapi setidaknya sedekat mungkin. Dari sinilah kita kemudian bisa memahami presuposisi: Kami menghargai model dunia tiap orang.
Sementara itu, Milton Model, juga bukanlah akal bulus untuk membungkus pesan penipuan agar orang lain terpengaruh. Sama sekali bukan! Justru Milton Model, alias hypnotic language, adalah alat agar pesan yang ingin kita sampaikan benar-benar sampai sebagaimana ia dimaksudkan. Coba pikirkan, jika pesan cinta disampaikan dengan pola kalimat berita ala Insert Investigasi. Walah, bisa berabe, bukan? Pesan cinta ya memang harus disampaikan secara kongruen, dengan permainan presuposisi serta seeding yang cantik, sehingga ia tidak saja terdengar, tapi juga terasa.
Maka baik Meta Model maupun Milton Model, alih-alih manipulatif, sejatinya justru dalah cara kita untuk menjadi komunikator yang tulus, pure, kongruen.
Ketiga, soal berbagai mitos seperti eye accessing cues (EAC). Saya sangat senang sekali mengetahui banyak orang mulai mengenal NLP, salah satunya lewat EAC ini. Konon, pemicunya adalah film The Negotiator yang menceritakan seorang negosiator mampu mengetahui kebohongan seseorang melalui gerak mata orang tersebut.
Bahwa hal ini benar, saya sangat sepakat. Hanya saja, seperti halnya ilmu apapun di dunia ini, setiap ilmu selalu terbatas oleh konteks. Maka EAC pun sama sekali bukan harga mati bahwa ia adalah ilmu untuk mendeteksi kebohongan semata. Bahkan, fungsinya jauuuuh lebih buanyak daripada ‘sekedar’ lie detector.
Wah, apa tuh fungsi yang buanyak itu?
Ya sesuai namanya, eye accessing cues. Maka gerakan mata adalah salah satu cara dari tubuh dan pikiran untuk mengakses state tertentu. Sementara itu, saya seringkali mengatakan pada sahabat-sahabat saya di kelas bahwa state adalah induk dari rangkaian pikiran-perasaan-perilaku. Tidak heran jika kemudian muncul sebuah teknik memory strategy yang mendayagunakan gerakan mata untuk memudahkan kita mengingat sesuai. Begitu juga creativity strategy yang juga menggunakan gerakan mata untuk membantu kita mengakses kondisi kreatif. Pada seorang kawan yang saya cermati rada kurang terlatih jalur koneksi antara pikiran dan perasannya, saya ajak ybs untuk berpikir suatu hal, kemudian segera menggerakkan mata ke bawah untuk mengakses perasaannya. Alhamdulillah, keterampilannya membaik cukup signifikan.
Belum lagi jika digunakan untuk rapport building. Wah, asyik betul ini. Kalau yang umumnya dilakukan kan begini. Kita lihat rekan bicara sedang melirik ke kiri mendatar, artinya kan mengakses memori pendengaran. Maka kita pun mengatakan, “Ya, memang seperti yang pernah kamu dengar, bla bla bla.” Ini bagus. Cuman standar, sebab masih ada lagi manfaat yang lebih mak nyus. Yaitu begini. Ketika rekan bicara menggerakkan mata seperti itu, kita sebenarnya cukup mengikuti gerakannya. Ah, Anda tentu tahu apa yang akan terjadi, bukan? Ya, tepat sekali! Kita pun akan mengakses state yang sama. Maka tanpa perlu berkata apa-apa pun, pacing sudah terjadi. Bahkan ini jenis pacing yang sangat alamiah, sama sekali tanpa dibuat-buat. Sebab kita tidak sedang melakukan make up pacing, melainkan betul-betul ingin memahami apa yang sedang dipikir-rasakan oleh rekan bicara kita.
Keempat, soal teknik-teknik NLP. Sementara ini saya menemui ada 2 jenis kubu dalam menyikapi soal teknik. Kubu pertama mengatakan teknik-teknik NLP itu penting untuk dipraktikkan secara benar, demi menjaga kualitas hasilnya. Sebab kalau tidak, hasilnya bisa ngawur, tidak standar, dan berbahaya. Sementara kubu kedua, berargumen bahwa teknik NLP itu hanya buah dari sikap mental seorang NLPers. Maka kalau merasa sikap mentalnya sudah yahud, ya teknik ndak perlu, alias bisa diotak-atik semaunya, sesuai situasi dan kondisi.
Mana yang benar?
Walah, ngapain milih. Saya mah, senang menggabungkan saja keduanya. Sebab masing-masing memang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri.
Teknik NLP itu penting, sebelum seseorang paham betul apa inti dari teknik tersebut. Misal, dalam teknik kesohor Fast Phobia Cure itu, intinya kan ada 2. Pertama, adanya disosiasi, tepatnya double dissociation. Kedua, adanya pengubahan sequence sehingga struktur neurologis dari pengalaman fobianya berubah. Umumnya, poin kedua ini dicapai dengan bumbu humor. Persis seperti kisah orang-orang yang sembuh dari fobia, yang dimodel oleh Bandler dan Grinder dulu. Mereka yang sembuh itu, rata-rata mengatakan, “Suddenly, I look at myself (disosiasi), and laugh (pengubahan sekuens).”
Nah, kalau belum mengerti sampai di sini, ya lakukan dulu teknik formal dengan benar. Persis seperti belajar bela diri. Sebelum berani-berani melakukan jurus tendangan tanpa bayangan, ya berlatih dulu jurus tendangan dasar dengan benar. Bahkan, latih dulu kuda-kuda sampai kokoh betul.
Pada saat yang sama, fleksibilitas itu juga penting, setelah kita memahami intinya, dan mulai bisa fokus pada tujuan utama. Persis seperti orang belajar menyetir. Pertama-tama ia fokus untuk mengendalikan mobil dengan benar, barulah kemudian fokus pada tujuan dari mengendarai mobil (jalan-jalan, bekerja, mengunjungi teman, dll). Maka, fleksibilitas dalam level ini adalah fleksibilitas yang terarah, yang sama sekali bukan ngawur. Ia adalah fleksibilitas yan outcome oriented, sebab didasari oleh pemahaman yang mendalam akan esensi sebuah teknik.
Kelima, tentang integrasi NLP. Saya ingat pernah belajar dari seorang guru bahwa NLP itu seperti belajar jadi koki. Belajarnya modular, sehingga kalau tidak diintegrasikan malah bingung sendiri. Jago mengiris, jago menggoreng, jago menyiapkan bumbu, dll. Cuman abis itu bingung, mau masak apa. Hehehe…
Nah, integrasi inilah yang justru amat jarang saya temui di berbagai pelatihan dan literatur NLP. Bukan berarti tidak ada lho. Ada, dan yang begini biasanya laris. Hehehe… Maka NLP jadi pisau yang tajam, namun disimpan begitu saja tanpa user manual. Di titik inilah, seperti sudah saya jelaskan dalam beberapa artikel tentang Spiritual NLP, saya merasakan bahwa spiritualitas adalah kuncinya. Tentu orang lain akan menemukan hal yang berbeda, namun intinya sama: integrasi. Dan Spiritual NLP yang sedang kami kembangkan saat ini adalah usaha untuk menjadikan NLP memiliki arah dalam penggunakannya.
Ah, segini dulu deh pengantarnya.
Loh, kok pengantar?
Ya, Insya Allah saya akan menjabarkan dengan lebih detil beberapa poin di atas—dan poin-poin lain yang belum saya sebutkan—dalam artikel-artikel tersendiri yang lebih komplit.
Sampai jumpa!
Sumber :
portalnlp.com
http://inspiera.com