Posted by : Banana Harajuku
Minggu, 25 September 2011
TEMAN DUDUK YANG SUKA BERANTEM
Meski tidak pernah menjadi juara kelas, ia terdaftar sebagai ’100
Intelektual Publik Dunia’.
Seakan sudah memperhitungkan waktu, pria muda itu mengakhiri
pertemuannya dengan seorang profesor dari Colorado, Amerika
Serikat menjelang kumandang azan Magrib bergema. Anies
Baswedan, Ph.D., pria muda itu, menemui femina, dan berulang
kali meminta maaf atas perubahan-perubahan yang mendadak
tentang jadwal wawancara. ”Maaf, jadwal wawancaranya terpaksa
harus berubah, karena besok pagi saya ada acara lain,” tuturnya,
dengan sangat santun, sambil memohon izin untuk menunaikan
salat Magrib.
Kesibukan suami Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc. ini memang luar
biasa. Rabu pagi itu misalnya, ia baru saja terbang ke Yogyakarta
untuk berceramah di Festival Film Asia atas undangan sutradara
film Garin Nugroho. Setelah mampir sebentar ke rumah kedua
orang tuanya di Jalan Kaliurang, Yogya, menjelang sore ia sudah
harus kembali ke Jakarta.
Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, ia tidak langsung pulang.
Karena, ada dua acara lagi yang menunggunya. Ia baru bisa
menginjakkan kaki di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, sekitar
pukul 23.00. Esoknya, pagi-pagi ia harus bersiap lagi memberikan
ceramah ilmiah di Jakarta. Karena itu, wawancara dengan femina
pun terpaksa disisipkan di antara padatnya jadwal. Sambil
menikmati kemacetan yang menyesakkan di sepanjang jalan tol
Bandara Soekarno-Hatta menuju Kampus Universitas Paramadina
di Jalan Gatot Subroto, perbincangan itu berlangsung akrab.
MERASA ’KAYA’ SEJAK KECIL
Sejak bocah, Anies memang sudah sangat ’sibuk’. Menurut Prof.
Dr. Aliyah Rasyid, ibunda Anies, putra sulungnya itu tergolong
anak yang sangat aktif dan tidak cengeng. ”Dia tidak mau hanya
duduk manis dan diam. Akibatnya, ia sering kali terjatuh.
Ia pernah terjatuh di teras rumah, dalam posisi kepala di bawah dan
kaki di atas. Saya langsung berlari mendekatinya karena khawatir
ia gegar otak atau kepalanya terluka. Alhamdulillah… Anies
ternyata tidak apa-apa. Meski jatuhnya sangat keras, Anies tidak
menangis! Wajahnya saja yang kelihatan agak suram, menahan
rasa sakit.”
Anies kecil memang jarang sekali menangis. Ketika tangannya
terkena setrika panas sampai membengkak merah, ia tidak
menangis. Padahal, saat itu usianya baru tiga tahun dan berbicara
pun masih cadel. ”Kenapa tanganmu melepuh, Nak?” tanya
ibunya. ”Kena trika,” jawab Anies kecil.
Anies lahir pada 7 Mei 1969 dengan pertolongan bidan Enny di
Kuningan, kota kecil di bagian utara Jawa Barat, tempat kelahiran
ibunya. Drs. A. Rasyid Baswedan, SU, suami Aliyah. Kemudian
mereka memberi nama anak pertamanya itu, Anies. Dalam buku
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anis berarti ’tanaman yang
banyak tumbuh di kawasan Laut Tengah, buahnya kecil-kecil dan
berbau harum, dipakai sebagai obat atau rempah-rempah ’.
Tetapi, menurut Rasyid, anies artinya ’teman duduk’. Selain
melambangkan ketaatan seorang anak, nama itu juga
dimaksudkan untuk mengenang nama kakak perempuan tercinta
Rasyid yang bernama Anisah yang saat itu sudah meninggal.
” Karena anak saya laki-laki, maka saya beri nama dia Anies.
Lengkapnya Anies Rasyid Baswedan. Semua anak saya, saya
sertakan nama saya dan nama keluarga, yaitu Rasyid dan
Baswedan !”
Anies tumbuh tidak hanya aktif, namun juga lumayan nakal. ”Saat
kanak-kanak, saya tergolong anak yang kurang baik,” akunya
jujur. ”Saya sering berantem dan di antara mereka ada yang saya
pukuli sampai berdarah-darah. Mungkin, di antara mereka banyak
yang sebel, sehingga mereka kemudian mengeroyok saya. ”
Saat itu usia Anies baru sekitar lima tahun dan masih tinggal
bersama kakeknya. Anies dipukuli oleh sekitar lima-enam anak
seusianya di lapangan tenis. Aliyah yang baru pulang dari kampus
dan menyaksikan anaknya dipukuli teman-temannya, malah pura-
pura tidak melihat. ”Sebagai ibu, saya tentu sangat kasihan,” papar
Aliyah. ”Tetapi, saya lihat keadaannya tidak membahayakan, jadi
saya biarkan saja. Itu sebagai latihan Anies agar mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri. ”
Anies besar di lingkungan keluarga pejuang yang sederhana,
pendidik, dan peka kondisi sosial. Anies dan keluarganya memang
tinggal di rumah kakeknya, Abdurrachman (AR) Baswedan,
seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat
sebagai Menteri Penerangan (1946) serta anggota konstituante
(Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua orang tua Anies adalah dosen.
Rasyid pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia,
sementara Aliyah adalah guru besar di Universitas Negeri
Yogyakarta.
Lingkungan kehidupan orang-orang pilihan inilah yang membuat
Anies merasa ’kaya’ sejak bocah. Dari kakeknya, ia mendapatkan
nilai-nilai perjuangan, kemanusiaan, kejujuran, dan sebagainya.
Sepanjang sejarah di Indonesia, mungkin hanya kakeknyalah
tokoh nasional yang hingga akhir hayatnya tidak mempunyai
rumah.
Saat itu, kakeknya tinggal di Taman Yuwono, kompleks
perumahan yang dibangun bagi para pejuang kemerdekaan.
Kompleks yang terletak di Jalan Dagen, belakang Jalan Malioboro,
itu terdiri dari 20 rumah dan sebuah lapangan tenis yang dibangun
oleh Haji Bilal, seorang pengusaha batik di Yogya. Rumah yang
ditinggali oleh kakek Anies ini sebelumnya pernah didiami oleh
Kasman Singodimedjo, M. Natsir, dan M. Roem. Di rumah ’wakaf’
kakeknya itu tidak ada telepon, sepeda motor, apalagi mobil.
Meski Anies lahir di lingkungan keluarga akademisi, Rasyid dan
Aliyah sepakat membiarkan semua anaknya tumbuh alamiah. Ia
tidak memaksakan agar putra-putrinya bisa membaca dan meng
hitung lebih dini, misalnya. ”Kami yakin anak-anak kecil
butuhbermain yang produktif dan kreatif. Karena, dunia bermain
pada anak sama dengan dunia bekerja pada orang dewasa. Itulah
yang bakal menjadi bekal kehidupan mereka ke depan, ” tutur
Aliyah.
Menurut Aliyah, Anies baru menangis saat ia me&rengek-rengek
minta sekolah. Awalnya, Aliyah kurang menggubrisnya, karena
saat itu usia Anies baru tiga tahun. Ia pikir, anaknya itu hanya ingin
sekolah, karena setiap hari menyaksikan anak-anak lain yang
masuk di sekolah TK Bustanul Athfal, tidak jauh dari rumah.
Namun, ketika Anies setiap kali merengek minta dimasukkan ke
sekolah, Aliyah berusaha berkonsultasi dengan Rahayu Haditono,
psikolog kenamaan di Yogya. ”Biarkan saja anak Ibu masuk
sekolah. Tetapi, kalau tiba-tiba dia ingin berhenti sekolah, jangan
dipaksa sekolah, ” saran Rahayu.
Anies pun mulai sekolah. Setiap hari ia diantar Eyang AR
Baswedan. Seperti sudah diduga, Anies belum sepenuhnya ingin
sekolah. Terkadang menggebu-gebu ingin masuk sekolah, tetapi
dalam kesempatan lain tiba-tiba mogok dan tidak mau masuk
sekolah lagi. Menjelang usia lima tahun, barulah ia kemudian
dimasukkan di sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogya.
Setiap hari Anies diantar-jemput oleh Gimin, tukang becak yang
hampir setiap hari mangkal di dekat rumah kakeknya. ”Selain kami
berdua bekerja, kami juga ingin melatih Anies agar bisa lebih cepat
mandiri, ” Aliyah memberi alasan. ”Tetapi, sebenarnya diam-diam
saya mengikutinya dari belakang. Sebagai seorang ibu, saya tidak
tega melihat anak usia lima tahun naik becak sendiri. ”
Anies tergolong pemberani. Saat di TK Syuhada itu, Rasyid pernah
menyaksikan anak sulungnya menonjok teman sekolahnya yang
jauh lebih besar. Gara-garanya, Anies melihat anak besar itu
mengejar dan akan memukul seorang anak yang lebih kecil.
Anies langsung mengejar dan mendorong anak besar itu sampai
terjatuh. Ketika anak besar itu bangun dan memandangi Anies
dengan marah, Anies justru balik memandangi anak itu dengan
pandangan yang lebih tajam. Apa yang terjadi? Anak itu ngeloyor
pergi, tanpa berani memandang mata Anies.
Bersambung
Masa kini:
Meski tidak pernah menjadi juara kelas, ia terdaftar sebagai ’100
Intelektual Publik Dunia’.
Seakan sudah memperhitungkan waktu, pria muda itu mengakhiri
pertemuannya dengan seorang profesor dari Colorado, Amerika
Serikat menjelang kumandang azan Magrib bergema. Anies
Baswedan, Ph.D., pria muda itu, menemui femina, dan berulang
kali meminta maaf atas perubahan-perubahan yang mendadak
tentang jadwal wawancara. ”Maaf, jadwal wawancaranya terpaksa
harus berubah, karena besok pagi saya ada acara lain,” tuturnya,
dengan sangat santun, sambil memohon izin untuk menunaikan
salat Magrib.
Kesibukan suami Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc. ini memang luar
biasa. Rabu pagi itu misalnya, ia baru saja terbang ke Yogyakarta
untuk berceramah di Festival Film Asia atas undangan sutradara
film Garin Nugroho. Setelah mampir sebentar ke rumah kedua
orang tuanya di Jalan Kaliurang, Yogya, menjelang sore ia sudah
harus kembali ke Jakarta.
Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, ia tidak langsung pulang.
Karena, ada dua acara lagi yang menunggunya. Ia baru bisa
menginjakkan kaki di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, sekitar
pukul 23.00. Esoknya, pagi-pagi ia harus bersiap lagi memberikan
ceramah ilmiah di Jakarta. Karena itu, wawancara dengan femina
pun terpaksa disisipkan di antara padatnya jadwal. Sambil
menikmati kemacetan yang menyesakkan di sepanjang jalan tol
Bandara Soekarno-Hatta menuju Kampus Universitas Paramadina
di Jalan Gatot Subroto, perbincangan itu berlangsung akrab.
MERASA ’KAYA’ SEJAK KECIL
Sejak bocah, Anies memang sudah sangat ’sibuk’. Menurut Prof.
Dr. Aliyah Rasyid, ibunda Anies, putra sulungnya itu tergolong
anak yang sangat aktif dan tidak cengeng. ”Dia tidak mau hanya
duduk manis dan diam. Akibatnya, ia sering kali terjatuh.
Ia pernah terjatuh di teras rumah, dalam posisi kepala di bawah dan
kaki di atas. Saya langsung berlari mendekatinya karena khawatir
ia gegar otak atau kepalanya terluka. Alhamdulillah… Anies
ternyata tidak apa-apa. Meski jatuhnya sangat keras, Anies tidak
menangis! Wajahnya saja yang kelihatan agak suram, menahan
rasa sakit.”
Anies kecil memang jarang sekali menangis. Ketika tangannya
terkena setrika panas sampai membengkak merah, ia tidak
menangis. Padahal, saat itu usianya baru tiga tahun dan berbicara
pun masih cadel. ”Kenapa tanganmu melepuh, Nak?” tanya
ibunya. ”Kena trika,” jawab Anies kecil.
Anies lahir pada 7 Mei 1969 dengan pertolongan bidan Enny di
Kuningan, kota kecil di bagian utara Jawa Barat, tempat kelahiran
ibunya. Drs. A. Rasyid Baswedan, SU, suami Aliyah. Kemudian
mereka memberi nama anak pertamanya itu, Anies. Dalam buku
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anis berarti ’tanaman yang
banyak tumbuh di kawasan Laut Tengah, buahnya kecil-kecil dan
berbau harum, dipakai sebagai obat atau rempah-rempah ’.
Tetapi, menurut Rasyid, anies artinya ’teman duduk’. Selain
melambangkan ketaatan seorang anak, nama itu juga
dimaksudkan untuk mengenang nama kakak perempuan tercinta
Rasyid yang bernama Anisah yang saat itu sudah meninggal.
” Karena anak saya laki-laki, maka saya beri nama dia Anies.
Lengkapnya Anies Rasyid Baswedan. Semua anak saya, saya
sertakan nama saya dan nama keluarga, yaitu Rasyid dan
Baswedan !”
Anies tumbuh tidak hanya aktif, namun juga lumayan nakal. ”Saat
kanak-kanak, saya tergolong anak yang kurang baik,” akunya
jujur. ”Saya sering berantem dan di antara mereka ada yang saya
pukuli sampai berdarah-darah. Mungkin, di antara mereka banyak
yang sebel, sehingga mereka kemudian mengeroyok saya. ”
Saat itu usia Anies baru sekitar lima tahun dan masih tinggal
bersama kakeknya. Anies dipukuli oleh sekitar lima-enam anak
seusianya di lapangan tenis. Aliyah yang baru pulang dari kampus
dan menyaksikan anaknya dipukuli teman-temannya, malah pura-
pura tidak melihat. ”Sebagai ibu, saya tentu sangat kasihan,” papar
Aliyah. ”Tetapi, saya lihat keadaannya tidak membahayakan, jadi
saya biarkan saja. Itu sebagai latihan Anies agar mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri. ”
Anies besar di lingkungan keluarga pejuang yang sederhana,
pendidik, dan peka kondisi sosial. Anies dan keluarganya memang
tinggal di rumah kakeknya, Abdurrachman (AR) Baswedan,
seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat
sebagai Menteri Penerangan (1946) serta anggota konstituante
(Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua orang tua Anies adalah dosen.
Rasyid pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia,
sementara Aliyah adalah guru besar di Universitas Negeri
Yogyakarta.
Lingkungan kehidupan orang-orang pilihan inilah yang membuat
Anies merasa ’kaya’ sejak bocah. Dari kakeknya, ia mendapatkan
nilai-nilai perjuangan, kemanusiaan, kejujuran, dan sebagainya.
Sepanjang sejarah di Indonesia, mungkin hanya kakeknyalah
tokoh nasional yang hingga akhir hayatnya tidak mempunyai
rumah.
Saat itu, kakeknya tinggal di Taman Yuwono, kompleks
perumahan yang dibangun bagi para pejuang kemerdekaan.
Kompleks yang terletak di Jalan Dagen, belakang Jalan Malioboro,
itu terdiri dari 20 rumah dan sebuah lapangan tenis yang dibangun
oleh Haji Bilal, seorang pengusaha batik di Yogya. Rumah yang
ditinggali oleh kakek Anies ini sebelumnya pernah didiami oleh
Kasman Singodimedjo, M. Natsir, dan M. Roem. Di rumah ’wakaf’
kakeknya itu tidak ada telepon, sepeda motor, apalagi mobil.
Meski Anies lahir di lingkungan keluarga akademisi, Rasyid dan
Aliyah sepakat membiarkan semua anaknya tumbuh alamiah. Ia
tidak memaksakan agar putra-putrinya bisa membaca dan meng
hitung lebih dini, misalnya. ”Kami yakin anak-anak kecil
butuhbermain yang produktif dan kreatif. Karena, dunia bermain
pada anak sama dengan dunia bekerja pada orang dewasa. Itulah
yang bakal menjadi bekal kehidupan mereka ke depan, ” tutur
Aliyah.
Menurut Aliyah, Anies baru menangis saat ia me&rengek-rengek
minta sekolah. Awalnya, Aliyah kurang menggubrisnya, karena
saat itu usia Anies baru tiga tahun. Ia pikir, anaknya itu hanya ingin
sekolah, karena setiap hari menyaksikan anak-anak lain yang
masuk di sekolah TK Bustanul Athfal, tidak jauh dari rumah.
Namun, ketika Anies setiap kali merengek minta dimasukkan ke
sekolah, Aliyah berusaha berkonsultasi dengan Rahayu Haditono,
psikolog kenamaan di Yogya. ”Biarkan saja anak Ibu masuk
sekolah. Tetapi, kalau tiba-tiba dia ingin berhenti sekolah, jangan
dipaksa sekolah, ” saran Rahayu.
Anies pun mulai sekolah. Setiap hari ia diantar Eyang AR
Baswedan. Seperti sudah diduga, Anies belum sepenuhnya ingin
sekolah. Terkadang menggebu-gebu ingin masuk sekolah, tetapi
dalam kesempatan lain tiba-tiba mogok dan tidak mau masuk
sekolah lagi. Menjelang usia lima tahun, barulah ia kemudian
dimasukkan di sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogya.
Setiap hari Anies diantar-jemput oleh Gimin, tukang becak yang
hampir setiap hari mangkal di dekat rumah kakeknya. ”Selain kami
berdua bekerja, kami juga ingin melatih Anies agar bisa lebih cepat
mandiri, ” Aliyah memberi alasan. ”Tetapi, sebenarnya diam-diam
saya mengikutinya dari belakang. Sebagai seorang ibu, saya tidak
tega melihat anak usia lima tahun naik becak sendiri. ”
Anies tergolong pemberani. Saat di TK Syuhada itu, Rasyid pernah
menyaksikan anak sulungnya menonjok teman sekolahnya yang
jauh lebih besar. Gara-garanya, Anies melihat anak besar itu
mengejar dan akan memukul seorang anak yang lebih kecil.
Anies langsung mengejar dan mendorong anak besar itu sampai
terjatuh. Ketika anak besar itu bangun dan memandangi Anies
dengan marah, Anies justru balik memandangi anak itu dengan
pandangan yang lebih tajam. Apa yang terjadi? Anak itu ngeloyor
pergi, tanpa berani memandang mata Anies.
Bersambung
Masa kini:
Anies Baswedan Dapat Penghargaan PASIAD Turki
Rektor Universitas Paramadina dan pendiri Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) Anies Baswedan Ph.D. memperoleh penghargaan dari Asosiasi Solidaritas Sosial untuk Negara-negara Pasifik (PASIAD), Turki. PASIAD beranggapan Anies telah melakukan upaya luar biasa dalam membantu memenuhi janji untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa di seluruh penjuru Tanah Air. Begitu isi siaran pers Universitas Paramadina yang terima di Jakarta, Selasa (23/11).
PASIAD adalah lembaga nonpemerintah yang didirikan di Istanbul, Turki. Lembaga ini bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional RI. Sementara Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) dikenal sebagai sebuah gerakan yang, antara lain, bertujuan antara lain mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah terpencil.
GIM juga menarik minat lulusan terbaik perguruan tinggi untuk menjadi pengajar dan membangun jaringan untuk peningkatan pendidikan di daerah, dan meningkatkan kualitas pengajaran di sekolah dasar.
Pada 10 November lalu, 51 sarjana berusia muda telah disebar ke lima provinsi. Mereka itu angkatan pertama program GIM yang digagas Anies. Selain Anies, penghargaan serupa juga diberikan kepada Dr. Dipo Alam, mantan Sekjen Organisasi Negara Berkembang 8 (D-8) yang bermarkas di Turki, atas jasanya dalam merekatkan hubungan kebudayaan antara Indonesia dan Turki.
Penghargaan yang sama juga diterima Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D, Wakil Menteri Pendidikan , atas perannya dalam upaya peningkatan mutu guru di Indonesia; dan Siti Fauzanah, pensiunan guru matematika dari Temanggung, Jawa Tengah, yang mendedikasikan dirinya untuk pengembangan pendidikan siswa kurang mampu namun memiliki kapasitas dalam bidang matematika.
Setiap tahun PASIAD memberikan penghargaan kepada para talenta muda, insan teladan dan juga para juara Indonesia dan dunia.
Anies dan sejumlah tokoh lainnya dinilai memiliki sumbangsih bagi pengembangan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia, dan menerima penghargaan tersebut dalam “Malam Anugerah Penghargaan dan Prestasi 2010,” pada 19 November lalu di Jakarta.
PASIAD bertujuan membangun jembatan persahabatan dunia dengan mengedepankan kebudayaan setempat tanpa membedakan suku, agama, ras dan antargolongan. Di antara kegiatan PASIAD adalah penyediaan tenaga ahli bidang pendidikan, penyediaan laboratorium sekolah, pemberian beasiswa, pertukaran pelajar, kompetisi sains dan matematika serta peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan Indonesia-Turki.(Ant/BEY)
Sumber: MetroTV
saya suka sekali dengan Anies baswedan terutama pemikiran dia itu sangat luar biasa. pakar pendidikan dan merupakan rektor termuda pada saat dia berusai 38 tahun, Rektor Universitas Paramadina
BalasHapuskunjungi juga sudutpararel.blogspot.com
dan
aridwanlubis.wordpress.com